Hutan Lubuk Beringin
Desa Lubuk Beringin, yang terletak di Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi , memiliki luas wilayah 2.800 hektar, di mana 84 persen di antaranya diperuntukkan bagi hutan lindung daerah aliran sungai (Akiefnawati dkk., 2010a). Pada tahun 1997, desa ini bergabung dengan program Integrated Conservation and Development Project (ICDP) - Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang dikelola oleh LSM KKI-Warsi untuk membuat peraturan desa tentang pelestarian lingkungan. Kesepakatan tersebut mencakup komitmen seperti melestarikan kawasan hutan, tidak mengolah lahan dengan kemiringan lebih dari 80 derajat, dan menanam bambu di sepanjang bantaran sungai untuk mencegah erosi dan longsor. ICDP-KSNP berakhir pada tahun 2002 karena evaluasi menunjukkan bahwa tujuannya tidak tercapai (Akiefnawati et al., 2010a). Meskipun gagal, program ini memungkinkan terjalinnya hubungan antara penduduk desa setempat dan LSM KKI-Warsi dalam hal pengelolaan sumber daya alam dan konservasi keanekaragaman hayati .
Pada tahun 2008, KKI-Warsi melakukan pendekatan kepada pejabat Lubuk Beringin mengenai peluang untuk mengajukan izin pengelolaan hutan di wilayah mereka (Sari, 2013). Hal ini berujung pada peristiwa dimana Menteri Kehutanan secara resmi memberikan hak pengelolaanHutan Desa kepada Lubuk Beringin pada tanggal 30 Maret 2009. Meliputi hamparan seluas 2.356 hektar di dalam Hutan Bukit Panjang-Rantau Bayur, kawasan ini sekarang berada di bawah pengelolaan pemerintah desa Lubuk Beringin (Akiefnawati et al., 2010b). Kawasan hutan ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan berdasarkan proposal yang disiapkan oleh desa dan diajukan oleh bupati. Kementerian Kehutanan mengeluarkan izin pengelolaan selama 35 tahun, di mana desa membentuk lembaga pengelolaan hutan yang bertanggung jawab untuk membuat rencana pengelolaan komprehensif selama 35 tahun beserta rencana tahunan. Di hutan lindung seperti Hutan Desa, aliran pendapatan terbatas karena lokasi hutan berada di daerah yang secara ekologis penting, seperti lereng curam yang rentan terhadap erosi atau daerah tangkapan air . Kegiatan yang dilakukan terbatas pada pemanenan hasil hutan non-kayu, tetapi masyarakat dapat terlibat dalam kegiatan penghijauan untuk menghasilkan pendapatan melalui REDD+ atau skema pembayaran jasa ekosistem .
Referensi
Akiefnawati, R., Villamor, G.B., Zulfikar, F., Budisetiawan, I., Mulyoutami, E., Ayat, A., Noordwijk, M. van, 2010a. Kesepakatan penatalayanan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD): Hutan desa Lubuk Beringin sebagai hutan desa pertama di Indonesia (Kertas kerja No. 102). Pusat Wanatani Dunia (World Agroforestry Centre).
Akiefnawati, R., Villamor, G.B., Zulfikar, F., Budisetiawan, I., Mulyoutami, E., Ayat, A., Van Noordwijk, M., 2010b. Perjanjian penatagunaan untuk Mengurangi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi (REDD): studi kasus dari "Hutan Desa" Lubuk Beringin, Provinsi Jambi, Sumatera, Indonesia. Int. For. Rev. 12, 349-360.
Sari, I.M., 2013. Hutan Kemasyarakatan di Persimpangan Jalan: (Tesis Magister). Universitas Oslo, Norwegia.